Jumat, 29 April 2016

[Ulasan] AADC 2: Akhir Bahagia yang Kurang Membahagiakan

Review AADC 2
Rangga dan Cinta akhirnya bertemu lagi.

Catatan: sebuah opini subjektif Penikmat Film, yang banyak mau tapi pengetahuan film-nya nol besar. Ulasan ini murni dari kepala dan hati saya.
Ngomong-ngomong, saya tahu kok bikin film itu susah. #SepakatUntukTidakSepakat #BedaOrangBedaSelera.


JUDUL            : Ada Apa Dengan Cinta 2
SUTRADARA: Riri Riza
PRODUSER    : Mira Lesmana
PENULIS        : Mira Lesmana, Prisma Rusdi
PEMAIN       : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Adinia Wirasti, Titi Kamal, Sissy Prescillia, Dennis Adishwara.
DURASI          : 124 Menit
TAHUN           : 2016
SKOR Sudut Em: 6,8 dari 10 (Sekali lagi, ini subjektif. Beda kepala, beda selera)


Kamu salah satu yang menunggu sekuel Ada Apa Dengan Cinta (AADC)? Tos! Saya juga. Akhirnya, setelah 14 tahun, yang dinanti muncul juga. Hari ini, 28 April 2016, AADC 2 tayang perdana di bioskop-bioskop tanah air. Saya pun bergegas ke bioskop terdekat, tanpa spoiler atau sontekan ulasan dari orang lain. Tanpa ekspektasi.

Kalau tujuan kamu hanya ingin bernostalgia dengan AADC?, menurut saya film ini lumayan. AADC 2 menceritakan pertemuan kembali Cinta dengan para sahabat dan tentu saja dengan Rangga. Hal-hal menggantung di AADC? berusaha diselesaikan hingga tuntas. Saya cukup terhibur bisa ‘reuni’ dengan acting Sissy Prescillia sebagai Milly yang lemot dan banyol. Juga acting natural aktris favorit saya, Adinia Wirasti sebagai Karmen dan Nicholas Saputra sebagai Rangga yang masih (sok) cool seperti 14 tahun lalu. Tidak termasuk acting kaku Dimi Cindyastira yang berperan sebagai Sukma, adik tiri Rangga.

Serba Terburu-buru
Sayangnya, sekadar itu. Kesan keseluruhan yang saya tangkap dari film ini adalah alur yang serba terburu-buru. Parameter saya bukan durasi, ya. Melainkan proses visualisasinya. Maksud saya, plot terburu-buru itu tidak selalu berdurasi pendek. Atau sebaliknya, plot lambat bukan berarti berdurasi panjang.

Bahkan kesan terburu-buru itu sudah saya rasakan sejak di awal film, yaitu pertemuan Geng Cinta yang saling bertukar kabar terkini. Kenapa proses bertukar cerita itu harus diungkap lewat dialog? Kenapa tidak menampilkan cuplikan visual singkat yang merangkum cerita mereka? Seperti kata Isti di blognya, jika sebuah film lebih banyak berkata-kata daripada “menunjukkan” lewat visual, lalu apa bedanya dengan mendengarkan sandiwara radio? Justru sisi visual lah yang menjadi kekuatan dalam sebuah film dan seharusnya digali lebih dalam.

Ada banyak cara untuk memvisualisasikan sebuah proses waktu. Tidak sekadar tulisan "satu purnama kemudian". Salah satu contoh terbaik yang selalu membekas di hati adalah visualisasi di film Up!, yang menampilkan cuplikan perjalanan hidup Carl dan Ellie dalam beberapa tahun. Lima menit paling mengharukan yang bercerita banyak.

Plot terburu-buru lainnya adalah kemunculan Sukma di New York, mengajak Rangga pulang menemui ibu kandungnya. Selain itu, ketergesaan juga menjelma lewat  mood swing yang dialami Cinta. Soal ini, saya jelaskan lebih lanjut setelah film ini 'turun' dari bioskop.
Review AADC 2
Menuntut penjelasan Rangga.
Satu-satunya scene yang agak ‘santai’ adalah saat bertemunya kembali Cinta dan Rangga di Yogyakarta dan proses rekonsiliasi mereka. Mereka ngobrol sekaligus mengunjungi beberapa tempat di Yogyakarta. Wajar sih jika porsi adegan ini paling besar, karena menurut saya di sinilah inti cerita AADC 2.

Akhir Bahagia yang Mengecewakan
Terasa sekali 'beban' produser dan sutradara untuk menuntaskan sekuel ini dengan akhir yang memuaskan. Sehingga, saya merasa ‘dipaksa’ untuk melihat akhir bahagia kisah Rangga dan Cinta. Baiklah, kekuatan cinta mungkin memang ada. Tapi apakah hanya sekedip mata? Bila iya, magisnya pun kurang terasa.

Saya pikir, saya akan ikut senang melihat akhir bahagia Rangga dan Cinta. Bahkan adegan yang harusnya bikin saya berdebar malah terasa biasa saja. Yang bikin saya haru justru adegan Rangga dan ibu kandungnya. Meski hanya topik pendukung, justru inilah yang menjadi rasionalisasi Rangga terbang ke Indonesia, lalu ke Yogyakarta dan bertemu Cinta.

Sebenarnya, sebelum akhirnya saya edit sementara untuk menghindari spoiler, ulasan ini menjelaskan cukup detail beberapa adegan mengecewakan, termasuk di pengujung film. Saya nyaris drop ketika melihat adegan ekstra yang untungnya tidak 'seindah' (baca: separah) Mocking Jay part 2. *bernapas lega* Penasaran adegan apa yang maksud? Pokoknya, jangan buru-buru keluar bioskop, ya.

Happy ending AADC 2 bisa jadi berhasil. Buktinya, tadi para ABG yang menonton bersorak puas dan bertepuk tangan di akhir film. Serius, mereka bertepuk tangan di dalam bioskop. Sayangnya, saya kurang puas. Mungkin karena saya penganut istilah "When it's too good to be true, maybe it's not real." 

Iya, saya sadar film bukanlah sekadar karya seni. Ia juga sebuah industri. Tentu harus mempertimbangkan sisi bisnis yang mesti ‘memuaskan’ penonton (baca: pasar), yang ujung-ujungnya meraup keuntungan maksimal. Saya maklum. (Ngomong-ngomong soal bisnis, saya salut dengan teknik product placement yang cukup smooth atau tidak terlalu kentara di film ini.)

Bagaimanapun, saya mengapresiasi kerja keras Riri Riza, Mira Lesmana, dan tim. Buktinya? Saya rela mengeluarkan uang untuk menonton film ini. Tapi, bukan berarti saya tidak boleh mengkritik, kan? Film bagus sekaligus laris mungkin jarang dan sulit diwujudkan. Seringkali, salah satu harus dikorbankan. Namun, saya yakin film seperti itu ada dan bisa diwujudkan.

Terakhir namun bukan berarti tidak penting, ada dua hal yang ‘menolong’ film ini masih terasa cantik. Pertama, magisnya kota Yogyakarta (saya jadi penasaran berkunjung ke Candi Ratu Boko dan Punthuk Setumbu). Kedua, puisi-puisi cantik milik @hurufkecil alias Aan Mansyur. Itu sebabnya, hal pertama yang saya lakukan selepas keluar dari bioskop adalah me-mention Aan via Instagram untuk mengapresiasi karyanya.


Selamat Malam, Semesta!
Supaya tidak penasaran, silakan nonton AADC 2.
Lalu bagikan pendapatmu :)


Salam,
Salah satu penonton yang kecewa,
Em.


22 komentar:

  1. AADC 2 memang hadir dengan beban yg cukup berat. Mungkin saat AADC pertama, film ini begitu menggigit, sehingga meninggalkan kesan bagi banyak orang. Tapi ketika dijadikan sekuel, nggak segreget di awal.
    Ini memang 'penyakit' yang umum bagi pembuatan sekuel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Jadi pengin mendata sekuel film apa saja yang relatif berhasil.

      Hapus
    2. dark knight sekuel batman begins :))

      Hapus
    3. Ternyata bukan hanya saya yg melihat kekurangan si aadc 2 kalau bukan sikuel mungkinn penontonnya jauh di bawah aadc 1, yg ke 1 2,7 penonton yg ke 2 3,6 kalau di kurangin untuk penonton pertama aadc 2 cuma dapat 900ribu penonton.. Karna yg nonton aadc 2 adalah penonton aadc 1 yg pengen tau kelanjutan cerita rangga dan cinta, menunrut saya jauh lebih dapat cemistri aadc 1 ketimbang yg ke2, sebagai seorang penulis saya tau banget di mana letak kekurangan cerita aadc 2, penulis skenarionya kurang jeli dalam menyatukan aadc1 dan aadc2 saya merasa jadi ceritanya terpisah hanya pemain dan perannya yg sama, makanya penonton aadc2 jauh di aadc1 harusnya kalau cerita seperti yg pertama pasti penonton dalam negeri bisa di atas 5jt, saya yakin itu..

      Hapus
    4. Ternyata bukan hanya saya yg melihat kekurangan si aadc 2 kalau bukan sikuel mungkinn penontonnya jauh di bawah aadc 1, yg ke 1 2,7 penonton yg ke 2 3,6 kalau di kurangin untuk penonton pertama aadc 2 cuma dapat 900ribu penonton.. Karna yg nonton aadc 2 adalah penonton aadc 1 yg pengen tau kelanjutan cerita rangga dan cinta, menunrut saya jauh lebih dapat cemistri aadc 1 ketimbang yg ke2, sebagai seorang penulis saya tau banget di mana letak kekurangan cerita aadc 2, penulis skenarionya kurang jeli dalam menyatukan aadc1 dan aadc2 saya merasa jadi ceritanya terpisah hanya pemain dan perannya yg sama, makanya penonton aadc2 jauh di aadc1 harusnya kalau cerita seperti yg pertama pasti penonton dalam negeri bisa di atas 5jt, saya yakin itu..

      Hapus
  2. ah....ada yg kecewa dan senang biasa saja. Toh setiap org berhak punya penilaian. Yang kurang pas adalah mengganggap hasil penilaian kita yg paling benar. Gitu aja repot....selamat menikmati....:)

    BalasHapus
  3. Teste pasti berbeda ketika umur kita bertambah 14 tahun sejak menonton pertamakali,,

    BalasHapus
  4. Makanya, nontonnya bareng orang yang sama pas nonton AADC? beberapa tahun yang lalu 😌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inri Dennaaaa, kapan kita nonton bareng lagi?

      Hapus
  5. Kecewa , biasa aja dan ceritanya nanggung ,,, tp tetep menghargai atas kerja kerasnya
    Tetep terhibur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah justru malah merasa nanggung ya? Mungkin ada AADC 3? Haha.

      Hapus
  6. Balasan
    1. Biar enggak penasaran,makanya nonton. Hehe.

      Hapus
  7. Sya setuju kali...film nya bgus..tpi kurng menggigit..ibarat kopi enak d sedu..tpi kurng terasa lidah kopinya..spi syu acungkan jempol lah biat perfilman indonesia..semoga lebih berkembg..dan mengahasilkan karya yg lebih lgi..sehingga bisa bersaing dengan perfilman luar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dong. Kalau bukan kita yang mengapresiasi, siapa lagi?

      Hapus
  8. Hmoh! Aku sependapat dengan Em.
    Apalagi waktu nonton ceritanya di awal hingga ke pertengahan, agak garing lho. Sempet kecewa aku menontonnya. Untunglah, di pertengahan hingga diakhir cerita lumayan bagus. Lumayan membayar rasa kecewalah!
    Tapi, tetap aja kurang greget.

    BalasHapus
  9. Yang penting masih bisa nostalgia, ya.

    BalasHapus

(harap tidak mencantumkan tautan aktif)