Sabtu, 31 Desember 2016

[Ulasan] Aku, Meps, dan Beps: Tak Perlu Sempurna untuk Bahagia


Kesan pertama saya saat melihat buku Aku, Meps, dan Beps adalah ceria. Setidaknya, energi itu terpancar dari sampulnya yang berwarna oranye dan ilustrasi seorang gadis kecil bergigi kelinci yang tersenyum lebar. Keceriaan itu ternyata terus terbawa ketika saya mulai membaca halaman demi halaman. Tema yang acak dan lompat-lompat justru menjadi ciri khas buku ini dalam bercerita, layaknya seorang bocah. Saya seperti diajak Soca ‘bermain’ ke masa kecilnya. Seru, lucu, gemas, dan menyenangkan!


Dimulai dari penjelasan tentang sosok Aku (Soca), Meps (Sang Ibu), dan Beps (Sang Ayah). Kemudian, Soca menceritakan kebiasaan-kebiasaan Meps dan Beps di rumah, makanan dan camilan favoritnya, hewan-hewan ‘peliharaan’nya yang diberi nama unik, serta film kartun dan permainan kesenangannya. Juga tentang sekolah baru dan penyebab seringnya Soca bolos, lalu cerita tentang hewan peliharaan lagi, kesaktian Meps, dan ditutup dengan cita-cita Soca.

Dari semua tema acak di atas, tentu yang menjadi sentral adalah tokoh Soca, Meps, dan Beps. Keluarga kecil ini memang bukan keluarga yang sempurna. Masing-masing punya kekurangan yang justru saling melengkapi. Ketika Meps suka marah-marah, maka ada Beps yang super sabar dan nyaris tak pernah marah. Atau saat Meps sibuk sekali di kantor, tapi ada Beps menemani Soca jalan-jalan bersama Fluff.


Kekurangan Meps dan Beps membentuk Soca menjadi anak yang ‘unik’. Walau mengaku deg-degan saat dimarahi Meps Si Ibu Singa, Soca tetap dekat dan terbuka dengan ibunya. “Kalau nanya apa Bahasa Indonesianya, suatu kata Bahasa Inggris, aku langsung disuruh belajar atau les Bahasa Inggris. Aku kan mau tahu jawabannya. Bukan les Inggrisnya! Aduh, Meps!” protes Soca. Kekurangan serta kelebihan Meps dan Beps pun diwarisi pada Soca. Seperti  Meps, Soca pelupa dan  malas mandi namun senang membaca. Seperti Beps, Soca hobi bermain games dan kreatif.

Meski bercerita dari sudut pandang seorang anak kecil, Aku, Meps, dan Beps tak hanya layak dibaca anak-anak. Ia adalah sebuah buku keluarga yang ringan dan lengkap. Orang dewasa pun bisa belajar dari buku ini. Para Ibu bisa meniru kebiasaan Meps membacakan buku cerita untuk Soca dan menyontek resep Air Jahe  dan Kue Ceki milik Meps. Para Ayah bisa mengadaptasi kreativitas Beps. Kekacauan-kekacauan kecil yang diceritakan di buku ini menunjukkan pada kita bahwa tak perlu sempurna untuk menjadi keluarga bahagia.

Selain karena cerita yang sederhana dan jenaka, buku ini semakin hidup berkat ilustrasi bikinan Cecillia Hidayat. Bagi saya, fungsi ilustrator sama pentingnya dengan penulis. Dia bukan hanya sebagai pelengkap dan pemanis. Ilustrasi Cecil membantu pembaca memvisualisasikan tokoh dan kejadian di buku ini. Bahkan Cecil menggambarkannya secara detail dan kreatif. Beberapa ilustrasi favorit saya adalah saat Cecil menggambarkan Meps yang memang senang sekali memakai kain. That’s so Mbak Reda! Atau ketika Cecil menerjemahkan  ‘permusuhan’ Soca dengan sayuran. Pokoknya, di buku ini, saya resmi ngefans sama Cecillia Hidayat!


Satu kekurangan buku ini: kurang tebal! Pasti banyak kisah seru lainnya yang Soca maupun Meps belum ceritakan. Salah satunya, soal dengkuran nyaring Beps yang sempat disebut di “Surat dari Penerbit.” Khawatir bagian itu terlewat, saya sampai membaca ulang. Dua kali! Tapi ternyata, memang tidak ada. Saya sungguh penasaran, kira-kira, Meps senewen enggak ya, dengar dengkuran Beps? Atau bahkan, pindah tidur ke kamar mandi lagi, persis ketika kesal dengan Kuku? Haha. Mungkin, kisah itu bisa diceritakan di buku jilid 2, 3, 4, 5, dan seterusnya! Permisi ya Soca dan Meps, jangan lupa dan malas menulis lanjutan buku ini, lho ya!*   

Begini dulu, deh. Nanti kalau ada lagi, saya tambahkan.**

-Em-


Aku, Meps, dan Beps
Ditulis oleh Soca Sobhita & Reda Gaudiamo                           
Digambari oleh Cecillia Hidayat
xvi + 89 halaman
Diterbitkan oleh POST Press
Cetakan Pertama: September 2016
Skor [Sudut Em]: 9 dari 10

 *Terinspirasi kalimat Soca dan Meps.
**Terinspirasi dua kalimat terakhir di buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(harap tidak mencantumkan tautan aktif)