Komunikasi bukan sekadar kemampuan berbicara. Proses yang tidak kalah penting adalah saat kita mendengarkan lawan bicara. Mau tahu 6 Level Keseriusan Mendengar? Yuk, kita bahas.
Dalam buku Make Yourself Unforgettable: How to Become the Person Everyone Remembers and No One Can Resist (Dale Carnegie Training, 2012) yang saya baca, ada satu bab khusus membahas tentang keterampilan mendengar. Menarik sekali. Cocok untuk orang visual seperti saya yang punya kelemahan dalam mendengar. Kelemahan yang saya maksud bukan budek atau bolot, lho. Melainkan, kesulitan untuk fokus pada apa yang lawan bicara ucapkan. Buku tersebut menjelaskan bahwa proses mendengar meliputi faktor nonverbal dan non-audio seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, asumsi kultural, dan reaksi pembicara dan pendengar terhadap satu sama lain.
Dalam buku Make Yourself Unforgettable: How to Become the Person Everyone Remembers and No One Can Resist (Dale Carnegie Training, 2012) yang saya baca, ada satu bab khusus membahas tentang keterampilan mendengar. Menarik sekali. Cocok untuk orang visual seperti saya yang punya kelemahan dalam mendengar. Kelemahan yang saya maksud bukan budek atau bolot, lho. Melainkan, kesulitan untuk fokus pada apa yang lawan bicara ucapkan. Buku tersebut menjelaskan bahwa proses mendengar meliputi faktor nonverbal dan non-audio seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, asumsi kultural, dan reaksi pembicara dan pendengar terhadap satu sama lain.
Faktor-faktor
itu pulalah yang memengaruhi keseriusan kita dalam mendengar. Ayo ngaku, kita pasti tidak selalu
mendengarkan dengan serius, kan? Di dalam otak atau pikiran, sadar atau tidak, kita
sudah melakukan seleksi mana yang harus kita dengar dengan serius dan mana yang
kita dengar sekenanya. Idealnya, sih, kita memang harus mendengar lawan bicara
dengan tingkat keseriusan optimal. Namun, pemilahan tersebut diperlukan untuk
menghadapi lawan bicara pada situasi tertentu. Berikut ini penjelasan 6 level keseriusan dalam mendengar.
- Mendengarkan
secara checked out atau tidak
mendengarkan sama sekali. Ini adalah level
terendah dari keseriusan seseorang ketika mendengarkan lawan bicara. Tahu istilah
“Masuk kuping kanan keluar kuping
kiri,” kan? Nah, kira-kira seperti itulah keseriusan mendengar di
level ini. Secara fisik, kita terlihat seakan-akan mendengarkan, tapi ‘nyawa’
kita entah sedang berkelana ke mana. Yang jelas, tidak di situ. Ini hampir
sama seperti tidak memedulikan lawan bicara dan bahkan tidak memberikan
respons sama sekali.
Situasi
khusus: Tingkat keseriusan ini efektif diterapkan ketika kita
dicecar oleh seorang yang bersemangat menguliahi kita hanya untuk kepuasan
dirinya. Persis ketika saya mendengarkan ocehan pendukung setia calon presiden
(capres) tertentu (ketika Pilpres 2014 lalu), yang membela idolanya dan
mencecar habis-habisan dukungan saya terhadap capres tandingan. Namun, pastikan
ini adalah pilihan sadar yang sudah dipertimbangkan dengan matang, bukan
sekadar refleks tidak sopan.
- Mendengarkan
secara minimal. Pada level ini, kita mendengar dan
menanggapi ucapan lawan bicara, meskipun respons kita ‘dibuat-buat’.
Maksudnya, kita sekadar menyampaikan hal yang menurut kita ingin didengar
lawan bicara agar mereka senang.
Situasi
khusus: Level ini cuma bisa kita terapkan saat berkomunikasi
dengan anak-anak atau orang berusia lanjut.
- Mendengarkan,
tapi ini semua tentang saya. Ini adalah level
yang paling sering diterapkan ketika menghadapi lawan bicara yang bukan
anggota keluarga, rekan kerja, atau teman dekat. Kita mungkin mendengarkan
dan merespons lawan bicara dengan seksama, tapi kita membuat penafsiran
sendiri terhadap apa yang kita dengar. Sehingga, respons yang kita berikan
pun sangat subjektif dan ujung-ujungnya hanya membicarakan diri sendiri.
- Mendengarkan
fakta-fakta saja. Level ini kebanyakan dilakukan
oleh kaum pria. Pada umumnya, tujuan utama kaum pria dalam berkomunikasi
adalah murni untuk bertukar informasi. Mereka fokus pada konten pembicaraan
yang mengandung fakta. Mereka seringkali mengabaikan konteks dan emosi
lawan bicara.
Sebenarnya, sih, hal ini efektif dan
efisien. Namun, masalah sering timbul ketika berhadapan dengan kaum perempuan,
yang pada umumnya berpendapat bahwa tujuan utama sebuah percakapan hangat
adalah untuk menjalin hubungan dan keterikatan emosi yang baik.
- Mendengarkan
dengan tegas. Pada level ini, kita tidak sekadar
mendengarkan. Namun, kita juga peka terhadap kata-kata, intonasi, bahasa
tubuh, dan raut muka lawan bicara. Intinya, melibatkan simpati. Kita harus
mampu melihat dan merasakan situasi dari sudut pandang lawan bicara. Hal
ini juga berlaku pada umpan balik yang kita berikan. Kita harus jujur
dalam mengungkapkan respons, termasuk ketidaksetujuan. Namun, di saat yang
sama, kita berusaha memahami konteks dan situasi lawan bicara secara
tulus.
- Mendengarkan
dengan optimal. Ini adalah level tertinggi dan paling
ideal. Lebih dari mendengarkan dengan tegas, level ini mencakup tindakan
nyata yang kita lakukan sebagai respons setelah mendengar lawan bicara. Salah
satunya, menyarankan ide untuk perubahan positif pada lawan bicara. Ketika
mendengarkan dengan optimal, kita punya keinginan yang kuat untuk membantu
orang lain memahami pilihannya. Intinya, pada level ini, kepentingan orang
lain menjadi fokus utama.
Jadi,
di level manakah keseriusan kita dalam mendengarkan lawan bicara? Sudahkah kita
mendengarkan dengan optimal? Kalau saya, sepertinya lebih sering mendengar
dengan keseriusan level 3, yaitu Mendengarkan,
tapi ini semua tentang saya. Saya mengaku masih self-center. Saat mendengar, ujung-ujungnya saya pasti langsung ‘melihat’
dengan kacamata sendiri, bukan terlebih dahulu memahami sudut pandang dan
situasi lawan bicara. Makanya, saya seringkali memotong pembicaraan karena
tidak tahan mengemukakan pendapat saya. Hehe, jangan ditiru ya. Saya memang
harus terus belajar menjadi pendengar yang baik.
Lalu,
bagaimana sih cara Mendengarkan Dengan Optimal Dan Efektif? Supaya tidak terlalu panjang, saya bahas tipnya di
artikel selanjutnya, ya.
Sumber:
Dale Carnegie Training. 2012. Make Yourself Unforgettable: How to Become the Person Everyone Remembers and No One Can Resist. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
super sekali...hanya saja sulit untuk menilai diri sendiri termasuk tipe pendengar seperti apa... kira-kira saya seperti yang mana ya?
BalasHapusSelama ngobrol sama saya sih, Bung Usil (singkatan dari USmar IsmaiL) kayaknya lebih sering mendengarkan fakta-faktanya saja alias level ke-4. Efektif banget menghadapi saya yang banyak gaya.
HapusEh tapi sering juga kok mendengarkan dengan optimal. Salah satunya, Bung Usil kasih saya masukan dan semangat untuk membangun Sudut Em.
Terima kasih ya, Prul!