Jumat, 22 April 2016

6 Level Keseriusan Mendengar


6 Level Keseriusan Mendengar
Mendengarkan lawan bicara butuh keseriusan.
(Credit: FreeImages.com/Bas van den Eijkhof)
Komunikasi bukan sekadar kemampuan berbicara. Proses yang tidak kalah penting adalah saat kita mendengarkan lawan bicara. Mau tahu 6 Level Keseriusan Mendengar? Yuk, kita bahas.


Dalam buku Make Yourself Unforgettable: How to Become the Person Everyone Remembers and No One Can Resist (Dale Carnegie Training, 2012) yang saya baca, ada satu bab khusus membahas tentang keterampilan mendengar. Menarik sekali. Cocok untuk orang visual seperti saya yang punya kelemahan dalam mendengar. Kelemahan yang saya maksud bukan budek atau bolot, lho. Melainkan, kesulitan untuk fokus pada apa yang lawan bicara ucapkan. Buku tersebut menjelaskan bahwa proses mendengar meliputi faktor nonverbal dan non-audio seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, asumsi kultural, dan reaksi pembicara dan pendengar terhadap satu sama lain.

Faktor-faktor itu pulalah yang memengaruhi keseriusan kita dalam mendengar. Ayo ngaku, kita pasti tidak selalu mendengarkan dengan serius, kan? Di dalam otak atau pikiran, sadar atau tidak, kita sudah melakukan seleksi mana yang harus kita dengar dengan serius dan mana yang kita dengar sekenanya. Idealnya, sih, kita memang harus mendengar lawan bicara dengan tingkat keseriusan optimal. Namun, pemilahan tersebut diperlukan untuk menghadapi lawan bicara pada situasi tertentu. Berikut ini penjelasan 6 level keseriusan dalam mendengar.

  1. Mendengarkan secara checked out atau tidak mendengarkan sama sekali. Ini adalah level terendah dari keseriusan seseorang ketika mendengarkan lawan bicara. Tahu istilah “Masuk kuping kanan keluar kuping kiri,” kan? Nah, kira-kira seperti itulah keseriusan mendengar di level ini. Secara fisik, kita terlihat seakan-akan mendengarkan, tapi ‘nyawa’ kita entah sedang berkelana ke mana. Yang jelas, tidak di situ. Ini hampir sama seperti tidak memedulikan lawan bicara dan bahkan tidak memberikan respons sama sekali.

Situasi khusus: Tingkat keseriusan ini efektif diterapkan ketika kita dicecar oleh seorang yang bersemangat menguliahi kita hanya untuk kepuasan dirinya. Persis ketika saya mendengarkan ocehan pendukung setia calon presiden (capres) tertentu (ketika Pilpres 2014 lalu), yang membela idolanya dan mencecar habis-habisan dukungan saya terhadap capres tandingan. Namun, pastikan ini adalah pilihan sadar yang sudah dipertimbangkan dengan matang, bukan sekadar refleks tidak sopan.

  1. Mendengarkan secara minimal. Pada level ini, kita mendengar dan menanggapi ucapan lawan bicara, meskipun respons kita ‘dibuat-buat’. Maksudnya, kita sekadar menyampaikan hal yang menurut kita ingin didengar lawan bicara agar mereka senang.

Situasi khusus: Level ini cuma bisa kita terapkan saat berkomunikasi dengan anak-anak atau orang berusia lanjut.

  1. Mendengarkan, tapi ini semua tentang saya. Ini adalah level yang paling sering diterapkan ketika menghadapi lawan bicara yang bukan anggota keluarga, rekan kerja, atau teman dekat. Kita mungkin mendengarkan dan merespons lawan bicara dengan seksama, tapi kita membuat penafsiran sendiri terhadap apa yang kita dengar. Sehingga, respons yang kita berikan pun sangat subjektif dan ujung-ujungnya hanya membicarakan diri sendiri.

  1. Mendengarkan fakta-fakta saja. Level ini kebanyakan dilakukan oleh kaum pria. Pada umumnya, tujuan utama kaum pria dalam berkomunikasi adalah murni untuk bertukar informasi. Mereka fokus pada konten pembicaraan yang mengandung fakta. Mereka seringkali mengabaikan konteks dan emosi lawan bicara.

Sebenarnya, sih, hal ini efektif dan efisien. Namun, masalah sering timbul ketika berhadapan dengan kaum perempuan, yang pada umumnya berpendapat bahwa tujuan utama sebuah percakapan hangat adalah untuk menjalin hubungan dan keterikatan emosi yang baik.

  1. Mendengarkan dengan tegas. Pada level ini, kita tidak sekadar mendengarkan. Namun, kita juga peka terhadap kata-kata, intonasi, bahasa tubuh, dan raut muka lawan bicara. Intinya, melibatkan simpati. Kita harus mampu melihat dan merasakan situasi dari sudut pandang lawan bicara. Hal ini juga berlaku pada umpan balik yang kita berikan. Kita harus jujur dalam mengungkapkan respons, termasuk ketidaksetujuan. Namun, di saat yang sama, kita berusaha memahami konteks dan situasi lawan bicara secara tulus.

  1. Mendengarkan dengan optimal. Ini adalah level tertinggi dan paling ideal. Lebih dari mendengarkan dengan tegas, level ini mencakup tindakan nyata yang kita lakukan sebagai respons setelah mendengar lawan bicara. Salah satunya, menyarankan ide untuk perubahan positif pada lawan bicara. Ketika mendengarkan dengan optimal, kita punya keinginan yang kuat untuk membantu orang lain memahami pilihannya. Intinya, pada level ini, kepentingan orang lain menjadi fokus utama.

Jadi, di level manakah keseriusan kita dalam mendengarkan lawan bicara? Sudahkah kita mendengarkan dengan optimal? Kalau saya, sepertinya lebih sering mendengar dengan keseriusan level 3, yaitu Mendengarkan, tapi ini semua tentang saya. Saya mengaku masih self-center. Saat mendengar, ujung-ujungnya saya pasti langsung ‘melihat’ dengan kacamata sendiri, bukan terlebih dahulu memahami sudut pandang dan situasi lawan bicara. Makanya, saya seringkali memotong pembicaraan karena tidak tahan mengemukakan pendapat saya. Hehe, jangan ditiru ya. Saya memang harus terus belajar menjadi pendengar yang baik.

Lalu, bagaimana sih cara Mendengarkan Dengan Optimal Dan Efektif? Supaya tidak terlalu panjang, saya bahas tipnya di artikel selanjutnya, ya.


Sumber:
Dale Carnegie Training. 2012. Make Yourself Unforgettable: How to Become the Person Everyone Remembers and No One Can Resist. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2 komentar:

  1. super sekali...hanya saja sulit untuk menilai diri sendiri termasuk tipe pendengar seperti apa... kira-kira saya seperti yang mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selama ngobrol sama saya sih, Bung Usil (singkatan dari USmar IsmaiL) kayaknya lebih sering mendengarkan fakta-faktanya saja alias level ke-4. Efektif banget menghadapi saya yang banyak gaya.

      Eh tapi sering juga kok mendengarkan dengan optimal. Salah satunya, Bung Usil kasih saya masukan dan semangat untuk membangun Sudut Em.

      Terima kasih ya, Prul!

      Hapus

(harap tidak mencantumkan tautan aktif)